mediaedukasianda,- Setiap 28 Oktober dikenang sebagai Hari Sumpah Pemuda. Dalam
sejarah Indonesia, Sumpah Pemuda (SP) menjadi suatu tonggak pergerakan untuk
menggapai kemerdekaan. Ikrar SP dianggap sebagai kristalisasi semangat
menegaskan cita-cita Indonesia Merdeka.
Meskipun kongres SP hanya dilaksanakan dua hari,
27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta), pergerakan tersebut mampu melahirkan
keputusan bersama untuk menegaskan cita-cita akan “Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia,
Dan Bahasa Indonesia.”
Dalam kongres SP, hadir dari berbagai perwakilan
tiap daerah dengan beragam suku, etnis, dan golongan. Pertemuan yang melahirkan
semangat perjuangan tersebut menjadi perekat akan terjalinnya semangat
kebersamaan dan satu kesatuan dalam wadah negara Indonesia.
Rumusan kongres SP ditulis Moehammad Yamin pada
secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr Sunario tengah
berpidato pada sesi terakhir kongres.
Kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju pada
secarik kertas tersebut dan diteruskan ke tokoh lain untuk diparaf setuju.
Sumpah tersebut awalnya dibacakan Soegondo.
Kemudian dijelaskan secara panjang lebar oleh Moehammad Yamin sebagai pelopor
pergerakan pemuda.
Semangat SP mencapai klimaksnya pada 17 Agustus
1945, ketika Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan. Sejak itu, Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis, agama, dan
golongan menjadi bangsa merdeka dan bersatu.
Langkah Muhammad Yamin dapat dikatakan sangat
brilian dengan memanfaatkan momen pertemuan nasional guna mengalang kekuatan
besar untuk membangun kesamaan tekad dalam menggapai cita-cita negara
Indonesia.
Menyatukan visi harus dilakukan para pemuda saat
itu, mengingat Indonesia telah terbentang luas dengan beragam budaya, suku,
ras, dan bahasa.
Maka, dengan adanya ikrar pemuda, tidak ada lagi
perbedaan, tapi dengan satu tekad untuk mempererat tali persatuan bangsa.
Dengan umur 88 SP, kondisi bangsa telah mengalami
pergeseran identitas baik para pemimpin maupun pemuda-pemudi sebagai generasi
penerus bangsa sekarang ini.
Perilaku haus kekuasaan menyebabkan banyak pemimpin
terjebak dalam lingkaran korupsi. Hal ini mengakibatkan hilangnya teladan.
Tanpa teladan para pemimpin, banyak pemuda
menyimpang dalam mental kebangsaan. Tingginya penggunaan narkotika serta
pergaulan bebas kaum muda menggambarkan umum akan telah hilangnya semangat
dalam mengisi kemerdekaan dari ikrar SP.
Sayang kaum muda sekarang sering banyak menggunakan
bahasa asing. Padahal, dengan ikrar SP, bahasa Indonesia menjadi bahasa utama,
tidak hanya sebagai identitas bangsa, tetapi juga untuk mempererat persatuan
dan kesatuan.
Muhammad Yamin sebagai penggagas SP menjadikan
bahasa Melayu sebagai sebuah bahasa persatuan meskipun ditentang banyak pihak.
Yamin sendiri Wakil Perhimpunan Pemuda Sumatera
atau Jong Sumatranen Bond menjabat sekretaris sidang. Dalam sebuah kongkres
Pemuda II, 28 Oktober 1928, perwakilan 10 organisasi pemuda se-Hindia Belanda
menyepakati identitas tanah air dan kebangsaan, namun selang pendapat terjadi
soal kesamaan bahasa.
Sejumlah kubu, termasuk Yamin, telah menginginkan
penggunaan bahasa Melayu dalam kongres Pemuda I, dua tahun sebelumnya.
Bahasa Melayu, tepatnya Melayu Riau dipilih karena
telah menjadi bahasa pergaulan masyarakat pesisir. Sementara, kubu lain
menginginkan bahasa Indonesia seperti diutarakan Mohammad Tabrani dari Jong
Java dalam kongres pertama.
Ini untuk menyamakan “bahasa” dengan “nusa” dan
“bangsa” Indonesia. Kubu Yamin menapiknya karena waktu itu belum ada bahasa
Indonesia. Meskipun demikian, akhirnya disepakati untuk menjadikan bahasa
Melayu sebagai bahasa Indonesia.
Persatuan Dan Kesatuan
Sejak dicetuskan ikrar SP 88 tahun silam dan
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan serta identitas, akan
tetapi kini mulai memudar di kalangan rakyat.
Padahal, menjadikan Indonesia sebagai bahasa
persatuan sebelumnya mengalami proses yang sangat panjang, terutama karena
banyak pertentangan yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.
Menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
merupakan warisan dari leluhur yang
patut dibanggakan. Bahasa-bahsa daerah di seluruh negeri hampir mencapai 700.
Maka, untuk dapat mempererat persatuan bangsa, dijadikanlah satu bahasa sebagai alat
persatuan. Kini, di tengah kehidupan yang semakin majemuk dan kemajuan
teknologi telah menjadi keniscayaan apabila kini bahasa Indonesia belum menjadi
bahasa sehari-hari seluruh negeri. Rakyat seakan lebih “pede” menggunakan bahasa-bahasa asing ataupun bahasa lokal
daerah.
Sebagai bahasa persatuan yang bermula tertuang
dalam ikrar Sumpah Pemuda, selanjutnya dalam konstitusi dengan mengamanatkan
bahwa Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36 UUD 1945).
Dengan demikian, sudah seharusnya bahasa Indonesia
wajib digunakan seluruh bangsa, tanpa terkecuali. Bahkan, tanpa bermaksud
mendiskreditkan kelompok tertentu, penggunaan bahasa asing, bahasa daerah
maupun bahasa hokian, seakan lebih popular digunakan sebagian rakyat, telah
mengesampingkan bahasa Indonesia.
Bahkan, di lingkungan pendidikan formal, pelajaran
bahasa Indonesia justru tidak memiliki porsi lebih dari bahasa-bahasa lain. Ironisnya, pada
pelaksanaan Ujian Nasional, banyak siswa mendapat nilai buruk bahasa Indonesia.
Peringatan SP setiap 28 Oktober, menjadi momentum
dan spirit membangkitkan kembali jati diri sebagai bangsa yang cinta tanah air.
Ini untuk menjalin semangat kebersamaan serta
menjunjung bahasa Indonesia. Terlebih lagi, dengan peringatan SP 88 tahun ini,
tidak hanya kembali menjadi seremoni belaka.
Dia harus
dimaknai dan diaplikasikan secara nyata untuk lebih membangkitkan cinta
kebangsaan akan tanah air. Seluruh elemen harus
lebih aktif dalam menjunjung serta menggunakan bahasa Indonesia. ( Sumber: Koran Jakarta, 28 Oktober 2016)
Tentang
penulis: Andryan, SH, MH Penulis Dosen FH Universitas Muhammdiyah
Sumatera Utara
Source:
gagasanhukum.word