Diawali dari fakta sejarah menunjukkan sebagian perempuan Jawa bukan sekedar pemanis. Salah satunya para prajurit perempuan yang tergabung dalam korps Prajurit Estri Mangkunegaran.
Keberadaan “korps Srikandi” ini terkuak berkat buku harian yang ditulis oleh anggota prajurit estri Mangkunegaran pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegoro I (Raden Mas Said, bertahta 1757-95).
Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2012) mencatat adanya gambaran menarik tentang munculnya Korps Srikandi Surakarta ini.
“Empat puluhan perempuan duduk berbaris di bawah takhta (sunan) dan benar-benar bersenjata lengkap: berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil [...] harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan.”
Jan Greeve, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (menjabat 1787-91), mencatat korps Srikandi ini pandai menunggang kuda dan mampu menembakkan salvo dengan teratur dan tepat. Peter Carey menambahkan keterampilan korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri.
Tak hanya lihai mempergunakan senjata, laskar perempuan ini juga diajari menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Di antara tarian itu adalah Retno Tinandhing, yang diilhami gerak pertempuran prajurit estri. Pada perayaan agama, prajurit perempuan ini juga ditugaskan menari. Hingga kini tarian ini masih digelar di Keraton Surakarta.
Keluwesan dan kecakapan para prajurit estri ini juga memikat Herman Willem Daendels, sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-11), saat ia mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali dan disuguhkan perang-perangan 40 prajurit estri kesayangan Sultan di alun-alun selatan.
Soal pakaian, mereka berseragam layaknya prajuritan. Namun mereka menyalin busana gaya emas maskulinnya, lalu menggantinya dengan busana wanita berwarna putih polos tatkala berada di rumah.
Pasukan Srikandi Yai Ageng
Pangeran Diponegoro saat masa remaja hidup bersama seorang perempuan terkemuka yang dipandang kritis terhadap perkembangan di istana Yogyakarta yaitu Ratu Ageng. Ratu Ageng merupakan seorang perempuan yang sangat tangguh ia mendampingi Sultan pertama dalam seluruh pertempuran melawan Belanda selama Perang Giyanti. Ratu Ageng juga menjadi panglima pasukan kawal istimewa perempuan atau “ Srikandi” kerajaan. Berkat kesalehannya dan kesukaannya membaca kitab-kitab agama serta merawat adat tradisional Jawa di Keraton membuat Ratu Ageng semakin terkenal.
Kebersahajaan Desa Tegalrejo yang dipimpin oleh Ratu Ageng mengajarkan Pangeran Diponegoro untuk bergaul dengan segala lapisan masyarakat tanpa merasa dirinya lebih tinggi, hal ini membuat Pangeran Diponegoro sangat dicintai banyak kalangan masyarakat.
Saat perang jawa perempuan juga berperan sebagai prajurit perempuan salah satu buktinya adalah koleksi museum yaitu ‘Patrem’ yang disembunyikan dan diselipkan dipinggang
Pasukan Srikandi Perang Diponegoro
Dimasa sepeninggalan neneknya, pangeran Diponegoro mengobarkan perang Jawa , salah satu pasukan Srikandi Yogyakarta yang siap angkat senjata adalah Nyi Ageng Serang. Nyi Ageng Serang adalah seorang wanita yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia asal Serang, Purwodadi, Jawa Tengah.
Pada awal Perang Diponegoro, 1825, meskipun beliau sudah tua, Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda.
Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasehat perang. Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.
Berdasarkan cerita tersebut, kita bisa mengetahui sejak dulu perempuan banyak mengambil peran untuk berbagai hal. Perempuan yang memiliki kepercayaan diri serta jiwa kepemimpinan tentu akan membawa dunianya bisa berkiprah secara maksimal sehingga energi positif akan disalurkan untuk orang di sekitarnya.
RA Retnaningsih - Putri Padangan
Dalam buku tulisan Ki Roni Sadewo yang berjudul Perjuangan Pangeran Diponegoro 'Antara Nasionalisme, Spiritualisme dan Budaya' bercerita tentang sepak terjang Diponegoro dan mendata siapakah para istri dan anak anak Pangeran Diponegoro.
Banyak Yang tidak mengetahui, bahwa daerah Kecamatan Padangan - Kabupaten Bojonegoro mempunyai sosok tokoh kebanggaan dalam pasukan Diponegoro.
RA Retnaningsih adalah Istri pangeran Diponegoro yang berasal dari Padangan- Bojonegoro. Pernikahan terjadi tahun 1822, tiga tahun sebelum perang Jawa berkobar. Beliau adalah putri dari seorang Adipati Padangan yang bernama Raden Tumenggung Sumoprawiro.
- Sebelum 1812, RT Sumoprawiro menjadi Bupati Kraton Yogyakarta untuk Jipang - Kepadangan / Padangan
- Setelah 1812, RT Sumoprawiro menjadi Bupati Keniten ( Madiun )
RA Retnaningsih masih ( Sentono) kerabat dengan RA Maduretno - Putri dari Raden Tumenggung Ronggo Prawirodirgo III ( Adipati Mancanegara Madiun) yang juga dinikahi oleh pangeran Diponegoro.
Dari pernikahan dengan RA Retnaningsih, Pangeran Diponegoro memperoleh putra yaitu :
- Raden Mas Kindar ( 1832 )
- Raden Mas Sarkuma ( 1834 )
- Raden Mas Mutawaridin ( 1835 )
- Raden Ayu Putri Munadima (1836)
- Raden Mas Dulkabli ( 1836 )
- Raden Mas Rajab ( 1837 )
- Raden Mas Ramaji ( 1838 )
- Raden Ayu Padmodipuro ( Ke Jawa )
Ke semua anaknya tersebut lahir di pengasingan Makasar dan meninggal di sana, kecuali anak bungsu yang bisa diselundupkan ke Jogja.
RA Retnaningsih adalah wanita tangguh dan istri yang setia mendampingi pangeran Diponegoro dalam pengundian, peperangan dan juga mendampingi saat pengasingan.
RA Retnaningsih, tumbuh menjadi wanita tangguh yang mau ikut angkat senjata dan aktif berperang. Posisi beliau menjadi pimpinan pasukan Srikandi yang di takuti Hindia Belanda. Terakhir beliau mengepalai 300 pasukan Srikandi.
Pasukan ini, sangat ahli dalam memegang senjata memanah dan berkuda. Keterampilan pasukan Srikandi ini, mendapat pujian dari komandan Belanda, dimana pasukan ini mampu memporak-porandakan musuh dalam waktu singkat dan cepat berpindah posisi.
RA Retnaningsih - GOA Selarong
Seperti diketahui, pada tahun 1825 hingga 1830, putra sulung Sri Sultan Hamengku Buwono III itu memimpin perjuangan rakyat Jawa melawan penjajah Belanda. Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro beserta laskarnya banyak menimbulkan kerugian di pihak Belanda. Tak hanya itu, pahlawan nasional tersebut mempunyai banyak pengikut setia dan sejumlah basis pertahanan serta tempat persembunyian. Satu di antaranya adalah Gua Selarong, Gua Kakung atau Gua Pria yang menjadi persembunyian Diponegoro. Juga Gua Putri yang ditempati istri Diponegoro, Retnaningsih.
Kehidupan yang sulit di pelarian ini, RA Retnaningsih tetap menjaga semangat suaminya dengan tetap mendampingi nya bersembunyi di goa Selarong. Hal ini dilakukan juga menjaga semangat para istri pasukan serta mengawasi stok bahan makanan tetap tercukupi sekaligus melatih pasukan Srikandi nya. Dalam perang Diponegoro 1825-1830, RA Retnaningsih belum memiliki putra dari pernikahan nya.
Penangkapan Diponegoro
Sayangnya, Pangeran Diponegoro dijebak secara licik dalam perundingan dengan Belanda pada 28 Maret 1828 di Magelang, dan dibawa ke Ungaran. Selanjutnya ia dipindahkan Semarang, lalu dibawa ke Batavia dengan kapal Pollux pada 5 April dan ditempatkan di penjara bawah tanah di Stadhuis (sekarang Museum Fatahillah Jakarta). Pada 3 Mei 1830 ia dibawa ke Manado dengan kapal Pollux, bersama Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, Mertaleksana, Banteng Wereng, Nyai Sotaruna, dan sejumlah pengikut setianya.
R.A. Ratu Ratnaningsih, salah satu dari setidaknya 9 isterinya. Ratnaningsih mendampingi selama pengasingan di Makassar. RA Retnaningsih, sebagai istri tetap mendampingi pangeran Diponegoro di pengasingan dan tetap menjalankan perannya menjadi istri yang salehah.
Selama di pengasingan, RA Retnaningsih memperoleh 8 anak, yang dimana anak keturunannya menyebar di Makassar sampai generasi ke lima. Penunggu makam Pangeran Diponegoro adalah generasi ke 4 dan ke 5.
Pangeran Diponegoro mangkat pada 8 Januari 1855 pada usia 69 tahun. Sementara sang istri yang setia mendampingi selama masa pengasingan, RA Ratu Ratna Ningsih, wafat pada 1865. Pusara mereka berdampingan di pemakaman Kampung Melayu, Makassar.
Makam sederhana yang terhimpit bangunan tinggi bertingkat ini berisi 66 makam, makam utamanya adalah Makam Pangeran Diponegoro dan istrinya yang ikut dalam pengasingan, RA Ratu Ratnaningsih.
Selain itu, terdapat 25 makam ukuran sedang, dan 39 makam ukuran kecil. Makam-makam tersebut adalah makam enam orang anaknya, 30 orang cucu, 19 orang cicit dan 9 orang pengikutnya. Di kompleks makam ini juga ada musola dan pendopo.
Semoga bermanfaat :
Sumber :
- Wikipedia Pasukan Mangkunegaran
- Sejarah Nyai Serang
- Sejarah Nyai Ageng Tegalrejo
- Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan
Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855
(2012) - Peter Carey
- Perjuangan Pangeran Diponegoro 'Antara
Nasionalisme, Spiritualisme dan Budaya'
( 2012) - Ki Roni Sadewo
_________________________
Pengirim:
Pemerhati Sejarah dan Budaya,
Temmy Setiawan.
0 komentar:
Post a Comment